Jumat, 08 Februari 2008

Enjoy Your Pleasure


Do you know the most destination to spent your vacation?. Or you have already the most favourite place to get a rest with your colleague?. Or you confused where is the cheapest place, without degrade your desire to reach your satisfied.

Your have nothing to worried. Your can enjoy your vacation and your traveling, in the whole world. If your like travel, the otherside your not enough time to booke the hotel. Don’t be scared, you can contact cheaperthanhotels.Don’t be doubted with them, cause cheaperthanhotels have been providing online reservation.


For example, in London, cheaperthanhotels can guide to the most favourite cheapest hotel. With cheaperthanhotels your not to be worried if your not enough borrow some money. London City Hotels is offering to you the cheapest hotel. There’s a few London City Hotels your can choose it. Started from 1 star hotels, till 5 star hotels. From only, 10 GBP (British Pound) till 490 GBP.

Furthermore, cheaperthanhotels can show the various pleasure. The other things, NH Kensington London (4 star),Mitre House Hotel(3 star), Piccadilly Backpackers London (2 star), Camden Lock Hotel (2 star), or Hotel 87 Vauxhall London (3 star).

So, what do waiting for?. Make a right decision, follow your heart, and don’t took a lot of money from your wallet.

Read More......

Minggu, 20 Januari 2008

Explore Your Mind


Are you manager, director, or professional leader in growth companies?. And you want to know how to measure your business, or you want to know how to develop your companies?. Or you don’t know, how to get a billion client. How to reach a great promoted in the internet world. Or you want to learned how to started you business?. There is nothing to worried.


On March 17-20, 2008 in New York you can attend a big conference. This conference is performed by Search Engine Strategies (SES). In that conference, you will be able to learn a few knowledge. Among others, how search engines list web sites for free and through paid placements, how to get free "organic" traffic by building a site that pleases search engines and your visitors, how to efficiently purchase listings guaranteed to rank your company at the top of search engine results, how to calculate the ROI of your search marketing efforts by tracking your visitors from the time they hit your site until they buy-and get tips on improving conversion if they don't, how to build links that generate traffic to your web site, how to avoid the penalties of "spamming" the search engines. And how you can profit from those changes.

In addition, u can explore your mind with most popular speakers. On those conference, SES has arranged for Q&A training. Special for members, your can get online lessons and Q&A sessions with recognized leaders in internet marketing. Among others, Bryan Eisenberg on Conversion Optimization, Greg Jarboe & Jamie O'Donnell on Online publicity, Alan Rimm-Kaufman on Paid search / PPC, Matt Bailey on Social Media, Avinash Kaushik & John Marshall on Web Analytics, and Todd Malicoat on SEO.

For more information you can contact Sales Department SES. So, what do you waiting for?.

Read More......

Sabtu, 12 Januari 2008

Why We Must Manage Our Risk?


According to many literature, risk is often used synonymously with the probability of a known loss. It is equally with the possibility of an event occurring that will have an impact on the achievement of objectives. The question is how to minimize our risk?. Further more, can we manage our risk?.

The answer is, risk can be manage. In fact, risk have come to theory. There are many theory about risk . But they depend on specific applications and situational contexts. In many case, risk can be assessed qualitatively or quantitatively.


Qualitatively, risk is considered proportional to the expected losses which can be caused by an event and to the probability of this event. The harsher the loss and the more likely the event, the greater the overall risk.

Frequently in the subject matter literature, risk is defined in pseudo-formal forms where the components of the definition are vague and ill-defined, for example, risk is considered as an indicator of threat, or depends on threats, vulnerability, impact and uncertainty.

In this point, risk communication and risk perception are essential factors for all human decision making its more important. For most important people, risk is measured in terms of impact and likelihood. The point is, how to get manage our term life.

Read More......

Senin, 07 Januari 2008

5 JUTA PETANI akan MENGANGGUR


Niat pemerintah untuk memangkas Bea Masuk (BM) Import beras menjadi Rp.450 per kg berdampak pada pengangguran yang lebih luas. Setidaknya 5 juta petani terancam kehilangan pekerjaannya.

Hal itu diungkapkan oleh Sekjend HKTI, Rachmad Pambudi. Angka itu sendiri berbasis pada perhitungan yang dilakukan oleh HKTI. Jika pemerintah mengimpor beras sebanyak 1 juta ton, 5 juta orang terancam kehilangan pekerjaannya. Perhitungan produksi 1 juta ton beras membutuhkan gabah 2,5 juta ton dengan areal budi daya 500.000 hektar.

Luas area 1 hektar, sedikitnya membutuhkan 10 pekerja. Maka, kalau 500.000 hektar membutuhkan 5 juta orang petani. Dari sisi kerugian, pemangkasan BM sebesar Rp 100 per kg, maka harga gabah petani akan melorot mencapai Rp 5,6 trilliun.


“Penurunan BM membuat kami jadi heran, kenapa BM diperjuangkan Bulog untuk turun walau tidak akan impor. Ada apa dibalik ini? Membela kepentingan siapa Bulog?” tandas Rahmad.

Ia menambahkan, di sejumlah negara produsen beras justru meningkatkan tarif BM import, agar dapat menjadi stimulan untuk meningkatkan produksi. Disamping itu, petani pun mendapat perlindungan, agar harga dasar gabahnya tidak terganggu.

“Di sejumlah negara, seperti AS, Thailand Vietnam, India dan Jepang justru menaikkan BM dari mulai 50% hingga 300%. Kok kita diturunkan, padahal dengan BM Rp550 per kg itu hanya 25% tarif yang diterapkan. Gitu saja kok berat,” tukasnya.

Senada dengan Rachmad, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir menilai kebijakan pemangkasan BM import beras adanya pertanda pemerintah tidak dapat melindungi petani.

“Penurunan bea masuk itu jelas tidak memproteksi petani. Seharusnya pemerintah menaikkan bea masuk, ini malah menurunkan. Padahal bea masuk kita sudah sangat kecil dibandingkan negara-negara di ASEAN lainnya, seperti Thailand,” ungkapnya.

Winarno melanjutkan, seharusnya pemerintah mendesak Bulog untuk memaksimalkan perannya dalam menyerap beras dari petani. Pemangkasan BM import beras justru akan mencekik nasib petani produsen, karena harga beras petani bisa jatuh.

Ikut Pasar Bebas

Di tempat terpisah, Sekjen Wahana Masyarakat Tani Indonesia (WAMTI), Agusdin Pulungan mengecam tindakan pemerintah menurunkan tarif BM import beras. Menurutnya, kebijakan itu pertanda bahwa pemerintah lebih berpihak pada pasar bebas, daripada petani kecil. Sebagai negara produsen beras, seharusnya pemerintah menjamin perlindungan petani kecil dari sebuan beras import.

Agusdin bahkan mempertanyakan Perum Bulog yang bermimpi menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir beras. “Saya jadi meragukan gembar-gembor Dirut Perum Bulog yang ingin menjadikan Indonesia sebagai eksportir beras,” ketusnya.

Ia mendesak kepada pemerintah untuk segera merevisi harga pembelian beras (HPP). Hal ini penting dilakukan agar Bulog dapat menyerap gabah petani secara maksimal, khususnya menjelang panen raya di bulan Februari-Maret 2008 nanti.

Sebagaimana diketahui, pemangkasan BM import beras dipicu oleh kenaikan harga beras dunia yang terus merangkak naik, lantaran menyusutnya stok beras dunia. Data yang dilansir oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Food Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa stok akhir beras dunia terus merosot hingga tahun 2009.

Di tahun 2007, stok akhir beras dunia mencapai 87 ton, dan di tahun 2008 diprediksikan mencapai 85 juta ton, dan pada tahun 2009 mencapai 86 juta ton. Sementara, data produksi beras yang dirilis oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat, stok akhir beras dunia per Juli 2007, mencapai 71,99 juta ton, lebih rendah bila dibandingkan stok akhir 2005/2006 sebesar 77,26 juta ton.

Tragisnya, stok ini pun menjadi rebutan oleh banyak negara konsumen beras. Bencana yang melanda sejumlah negara turut mempengaruhi persediaan beras dunia. Hal itu turut mempengaruhi bea operasional yang harus ditanggung oleh Bulog. Jalan pintas pun ditempuh, yakni pemangkasan BM import beras. Kenaikan harga beras dunia yang mencapai US$350 per ton, membuat Bulog harus memangkas tarif BM Import beras Rp.100 per kg. Dari Rp. 550 per kg sebelumnya, menjadi Rp.450 per kg.

Bantahan Bulog

Terkait dengan dampak terhadap harga pembelian gabah petani, Dirut Bulog Mustafa Abu Bakar menilai tidak berdampak apapun. Pasalnya, peningkatan harga beras di pasar dunia saat ini dari U$295 per ton menjadi U$ 330 per ton masih terlalu tinggi, bila dibandingkan memangkas tarif impor beras yang hanya Rp.100 per kg.

“Tidak ada dampak ke petani. Kenaikan 100 rupiah masih lebih kecil dibanding dengan kenaikan harga beras dunia dari US$ 295 ke US$ 330 itu kecil sekali,” tegasnya.

Namun hal ini dibantah oleh Rachmad Pambudi. Menurutnya, jika Bulog merasa berat dengan tarif BM, seharusnya dapat menjalin kerjasama dengan mitra tani untuk meningkatkan produksi, disamping mendapat harga yang lebih murah.

“Beli beras impor sama mahalnya. Kalau di pasar internasional sekitar US$330 per ton, Vietnam sekitar Rp4.400 per kg dan Thailand kurang dari Rp5.000 per kg, tapi Thailand bisa menjual US$350 per ton. Kan sama saja dengan disini,” tukas Rachmad.
Senada dengan Rachmad, Direktur Pusat Komunikasi Inovasi Teknologi dan Bisnis Dadang Z. Prawira upaya pemangkasan adalah tindakan yang tidak cerdas dan tidak berpihak. Menurutnya, masalah utama yang dihadapi oleh petani saat ini terletak pada pendistribusian.

”Semestinya, pemerintah berpikir untuk rakyat. Misalnya, dengan serius mencarikan solusi atas problem petani yang sulit mendistribusikan berasnya. Itu kan persoalan yang esensial. Jadi, bukannya lalu ‘dibom’ dengan kebijakan impor beras,” ujar Dadang.

Ia menambahkan, jika pemerintah berpihak pada petani produsen maka pemecahan masalah internal petani seperti harga pupuk, penetapan harga dasar gabah, masalah infrastruktur, serta masalah lingkungan yang dapat mengganggu produksi dapat cepat dituntaskan.

”Artinya, pemerintah jangan ‘bermain’ di tataran sistem kapitalis, yang terbukti merugikan rakyatnya sendiri. Pemerintah harus membantu masyarakat mengubah kultur budaya dan usahanya,” kata Dadang.

Usulan untuk memangkas tarif BM import beras mendapat dukungan dari sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Tak tanggung-tanggung, Menteri Keuangan bahkan telah mengeluarkan peraturan resmi. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 180/PMK.011/2007 tentang Penetapan Tarif BM atas Impor Beras mengatur tarif BM impor beras turun dari Rp 550 per kg menjadi Rp 450 per kg, maka di tahun 2008 tarif BM import dapat direalisasikan.

Rencana itu disambut positif oleh Menteri Perekonomian Boediono, usai menghadiri rapat koordinasi membahas harga bahan kebutuhan pokok di Jakarta (28/12). “Penurunan BM impor ini untuk mengurangi beban Bulog dalam menstabilkan harga beras di pasaran saat ini,” katanya.

Rapat yang digelar di gedung Bulog tersebut turut dihadiri oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, Menteri BUMN Sofyan Jalil, Menteri Perhubungan Jusman Syafi`i Jamal, Dirut Perum Bulog Mustafa Abu Bakar, Kepala BPS Rusman Heriawan serta perwakilan dari sejumlah BUMN.

Boediono menegaskan bahwa kebijakan menurunkan BM impor beras tersebut diambil pemerintah karena saat ini harga beras di tingkat dunia meningkat sementara Bulog memiliki kewajiban menstabilkan harga komoditas pangan tersebut di dalam negeri dengan menggunakan beras impor. (ar)



Read More......

Sabtu, 05 Januari 2008

Skandal Lapindo dan Apatisme Brutal

Oleh : Ali Rhamadhan

“Air riak tanda tak dalam.” Pepatah demikian kiranya tergambar dari petinggi negeri ini yang kian kabur dalam menuntaskan kasus Lapindo. Sebaliknya “air tenang menandakan kedalaman,” itulah gambaran yang melekat dalam diri korban lumpur panas Lapindo.
Dua pepatah tersebut ditunjukkan oleh pemandangan kontras di lapangan. Para petinggi negeri ini tampaknya sangat dermawan dengan janji-janji untuk segera menuntaskan kasus Lapindo. Mereka (pejabat) menganggap bahwa janji setidaknya dapat meredam keresahan warga Sidoarjo. Sementara, dari perspektif korban hitungan satu tahun kasus Lapindo, dan tinggal di tempat penampungan, ditambah miskinnya realisasi janji pemerintah menambah panjang penderitaan yang harus ditanggung warga.


Laksana bola salju, keresahan warga terus bergulir manakala upaya untuk negosiasi terus berujung pada kebuntuan atas hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah direnggut oleh PT. Lapindo Brantas.
Sikap “apatisme diam” (acuh tak acuh) warga yang selama ini dianggap lumrah oleh pemerintah, ternyata ditunjukkan oleh warga dengan demonstrasi massal yang hampir berujung pada bentrokan saat korban meminta pertanggungjawaban PT. Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo yang mengurusi ganti-rugi), Kamis lalu (26/04).
Pilihan mengambil sikap apatis kiranya sangat wajar, karena Pertama, terindikasinya PT. Lapindo untuk menghindari tanggung jawabnya. Diantaranya adalah pembayaran pola dengan mekanisme cicilan, pembentukan Badan Pelaksana Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPPLS), perbaikan infrastruktur oleh pemerintah via APBN, indikasi ini makin sempurna dengan dibentuknya Perpres No.14/2007. Kedua, lambannya pemerintah menuntaskan derita korban.
Persoalan yang harus dicermati adalah jika sikap “apatisme diam” ini bergeser menjadi “apatisme brutal”. Menyimak demonstrasi warga korban Lapindo kemarin, yang memblokade Jalan Raya Porong, Sidoarjo dan memberhentikan kereta api, adalah sinyalemen kuning yang seharusnya tak lagi dipandang sebelah mata oleh pemerintah.
Ibarat api dalam sekam, apatisme brutal dapat meledak suatu saat, dapat membakar satu rumah menjadi satu desa, seperti semburan lumpur Lapindo yang menjebol tanggul-tanggul.
Apatisme brutal bermuara pada agresivitas warga yang kian tak terbendung lagi. Pada hakekatnya kecenderungan agresi sudah tertanam dalam diri tiap manusia. Dengan ada atau tidaknya stimulan sekecil apapun, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan (Erich Fromm Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia).
Meskipun pemerintah punya otoritas menggunakan “aparatus state”-nya atas nama “ketertiban umum,” (Max Weber Politics as a vocation, 1918) namun kelelahan warga Sidoarjo terhadap kondisi ketidakpastian, pelepasan energi agresi korban lumpur tak lagi memandang “aparatus state”.
Erich Fromm bahkan memberi ketegasan upaya pelepasan energi agresivitas pada dasarnya berbanding lurus dengan upaya untuk mempertahankan diri. Fromm mendeskripsikan, bahwa upaya ini menyiratkan berbagai unsur resistensi, harapan, dan tindakan-tindakan non-nurani, pemalsuan realitas menurut kebutuhan subjektif, dan semua unsur ini bermuara pada berbagai cara dengan hasrat untuk mempertahankan diri.
Tentu saja, upaya ini ini akan meminggirkan kondisi represi yang dilakukan pemerintah. Artinya, warga tak lagi memandang barisan aparat keamanan yang siap melibasnya, atau menghalang-halangi niat warga untuk melampiaskan kekesalannya. Intinya, upaya warga untuk melepaskan energi agresivitasnya merefleksikan tindakan-tindakan manipulatif yang dilakukan oleh pemerintah.
Tindakan manipulatif dapat ditelusuri dari berbagai aspek. Pertama, teknis penanganan pemberian ganti rugi. Ini dapat dilihat dari janji awal pemerintah yang akan menuntaskan pemberian ganti rugi sebesar 20 persen pada awal Maret 2007, hingga batas waktu 2 Mei 2007.
Molornya waktu realisasi ganti rugi, menjadi permakluman lantaran tak ada data akurat mengenai status kepemilikan tanah warga korban lumpur. Kesimpangsiuran data antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sidoarjo masih memerlukan kecocokan dengan data yang dimiliki Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS), sehingga memerlukan verifikasi ulang.
Kedua, ketidakpastian status hukum warga terhadap pengembalian hak sosial-ekonomi, dan budaya (EKOSOC) yang hilang. Ini dapat dilihat dari hasil pertemuan perwakilan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Perumtas) Sidoarjo dengan Presiden dan Wakil Presiden di Jakarta beberapa hari lalu. Dalam bentuk minimalis, hanya dihasilkan kesepakatan yang sulit dicari penyelesaian hukumnya, jika suatu saat pemerintah kembali mangkir dari janjinya. Dan ironisnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Aburizal Bakrie tidak membubuhi tandatangannya.
Ketiga, pengaburan status hukum perusahaan Lapindo Brantas. Status perusahaan Lapindo Brantas Inc sendiri bukanlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini dapat dilihat dari beberapa design. Pertama, adalah menetapkan semburan tersebut adalah bencana nasional tanpa melihat apakah ada kesalahan prosedur atau tidak.
Kedua, dengan sengaja sikap pemerintah mendua. Di satu sisi “menyalahkan” Lapindo yang harus merogoh koceknya sebesar 4,2 trilliun rupiah, namun di saat yang sama pemerintah “menganggap” sebagai bencana alam, sehingga APBN-Perubahan 2007 harus menanggung 3,4 trilliun rupiah. Ketiga, Lapindo hanya dikenakan separuh dari total biaya penggantian terhadap korban, dan tidak untuk infrastruktur. Merujuk data Bappenas, prediksi kerugian infrastruktur mencapai 7,5 trilliun rupiah.
Intinya, kita belum melihat tindakan tegas pemerintah memandang Lapindo sebagai korporasi, apakah ditutup, atau diambil alih asetnya, seperti halnya kita melihat tindakan tegas pemerintah terhadap kasus kematian Cliff Muntu di kampus IPDN.
Keempat, pengaburan siapa pihak yang mesti dituntut pertanggungjawabannya. Ini pun tidak tertuang secara khusus dalam Perpres No.14/2007. Pada akhirnya warga kebingungan pihak mana yang harus dituntut pertanggungjawabannya. Badan Pelaksana Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPPLS) atau PT. Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo yang ditugasi untuk mengurusi pembayaran). Kondisi yang terjadi, BPPLS terkesan hanya sibuk membenahi semburan lumpur, sementara PT. Minarak enggan untuk berbuat lebih banyak, dan hanya ingin memposisikan dirinya sebagai “kasir” perusahaan Lapindo.
Di titik inilah, kiranya analisa Yasraf Amir Piliang dapat menjadi rujukan. Konflik antar energi bersifat dialektis hingga pada satu titik, dimana batas tertentu tak lagi punya makna bagi manusia dan kemanusiaan (Postrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika; 2004). Energi pemerintah , yang bersekutu dengan Lapindo “vis a vis” dengan kelelahan politik pada satu titik dapat mengarah pada bentuk yang lebih ekstrim. Sebagai penutup, sekali lagi, jika pemerintah masih menganggap remeh persoalan korban Lapindo, maka percepatan waktu pelepasan energi agresi warga akan semakin dekat. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang demonstran; “Kami berani mati, sebab kami sudah tidak punya apa-apa lagi, akibat bencana lumpur Lapindo.”

Read More......

Your IP

Sign by Dealighted - Coupons and Deals

GMT